MULYAKANLAH IBUMU
MEMULYAKAN IBUMU
“Kau tak akan mengerti
dan memahami arti kehilangan jika sebelum dirimu ditinggalkan dirinya untuk selamanya”
Di sudut Ka’bah, tampak seorang
laki-laki tengah menggendong ibunya dan bertawaf bersama. Sang anak lalu
bersandung puisi, “Saya akan menggendongnya tiada henti, ketika penumpang
beranjak, saya tidak akan pergi. Ibuku mengandung dan menyusuiku lebih dari itu,
Allah Tuhanku yang Mulia dan Mahabesar.” Ia melihat Abdullah bin Umar dan
bertanya, apakah segala yang telah ia lakukan tersebut cukup membalas
pengorbanan ibunya? “Tidak sedikit pun,” jawab Ibn Umar.
Kasih sayang ibu tak terhingga. Kebaikan yang
telah ia curahkan kepada anak-anaknya tak akan pernah terhitung. Cinta kasih
ibu laksana mentari menyinari dunia. Terus berbagi cahaya untuk alam semesta,
tanpa pamrih. Sekali pun ia dipenuhi dengan panas yang membara.
Seorang ibu mengandung anak dengan segala kelelahan dan risiko yang ada.
Bersusah payah melahirkan, lalu membesarkannya. Karena itu, Allah SWT
memerintahkan agar manusia mengingat pengorbanan tersebut. “Ibunya
mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).”
(QS al-Ahqaaf [46]:15).
Bagi generasi salaf, penghormatan atas jerih payah mereka tekankan. Mereka
menempuh bermacam cara untuk menunjukkan bakti terhadap ibundanya. Muhammad bin
al-Munakkar, misalnya. Ia sengaja meletakkan kedua pipinya di tanah. Hal ini
bertujuan agar dijadikan sebagai pijakan melangkah ibunya.
Selain itu, Ali bin al-Husain tak ingin makan satu meja dengan ibundanya.
Alasannya? Ia takut bila merebut menu yang diinginkan ibunya. Ada lagi Usamah yang
pernah memanjat pohon kurma, lalu mengupasnya dan menyuapi ibunya. Mengapa ia
melakukan hal itu? Ia menjawab, “Ibuku memintanya. Apa pun yang ia minta dan
saya mampu, pasti saya penuhi.”
Begitulah perhatian salaf terhadap ibu mereka. Aisyah bahkan pernah bertutur,
ada dua nama yang ia nilai paling berbakti kepada sosok ibu, yaitu Usman bin
Affan dan Haritsah bin an-Nu’man. Nama yang pertama tak pernah menunda-nunda
perintah ibundanya. Sedangkan yang kedua, rajin membasuh kepala sang ibu,
menyuapinya, dan tidak banyak bertanya saat ibundanya memerintahkan suatu
hal.
Menurut Syekh Muhammad bin Ali Asa’awy dalam artikelnya yang berjudul “al-Ihsan
ila al-Umm”, pengabdian dan bakti kepada kedua orang tua, terutama ibu, wajib
hukumnya. Ini merujuk pada surah al-Isra’ ayat 23-24. Tingkat kewajiban berbuat
baik (ihsan) kepada ibu itu bertambah kuat saat anak-anaknya dewasa.
Ia menjelaskan, bentuk ihsan kepada ibu bervariasi. Di level pertama ialah
menjauhkan segala perkara buruk darinya, memberikan hal positif, berinteraksi
dengan pekerti yang luhur dan etika kesopanan, peka terhadap perkara yang ia
suka dan tidak, berdoa untuknya, dan segala ihsan yang dilakukan bertujuan
untuk menggapai ridanya.
Berbakti dan berihsan kepada ibu adalah kunci dikabulkannya doa. Pengabdian
kepada sosok ibu juga dikategorikan sebagai sebab masuk surga. Ini seperti
tertuang dalam kisah Uwais. Tabiin tersebut
adalah orang yang beruntung.
Rasulullah SAW menyebut bahwa siapa pun yang melihat Uwais maka hendaknya
meminta doa ampunan kepadanya. Ini lantaran dirinya terkenal taat dan berbakti
pada sang ibunda. Itulah yang mendorong Umar bin Khatab mencari keberadaan
Uwais. Kisah pencarian Umar itu seperti tertuang di riwayat Muslim.
Syekh Asa’awy menjelaskan, pengabdian yang penuh (ikhlas) kepada ibu bisa
mengantarkan seorang anak ke surga. Hal ini sebagaimana terjadi kepada Haritsah
bin an-Nu’man. Dalam riwayat Ahmad disebutkan, Haritsah masuk surga berkat
ihsan yang ia tujukan kepada ibunda. Dan, Haritsah adalah sosok paling berbakti
untuk ibu.
Sebaliknya, mereka yang durhaka kepada kedua orang tua, khususnya ibu, akan
mendapatkan ganjaran setimpal. Sanksi yang akan ia terima bukan hanya di
akhirat. Akan tetapi, ia akan menerima akibat ulahnya itu di dunia.
Seperti ditegaskan dalam riwayat Muslim, setiap perbuatan dosa, Allah akan
menunda siksaannya kapan pun Ia berkehendak hingga kiamat. Kecuali, durhaka
kepada kedua orang tua. Allah akan mempercepat siksa bagi pelakunya di kehidupan
dunia, sebelum mati. Ini mengingat durhaka—sebagaimana riwayat Bukhari—termasuk
pelanggaran berat, dosa besar. Imam Syafi’i pernah bertutur dalam syairnya,
“Tunduk dan carilah rida ibumu karena mendurhakainya termasuk dosa besar.(mth234)
Tidak ada komentar