HIKMAH DIBALIK TRADISI PENGUCAPAN WALLAHU A’LAM
Selama belajar di
pesantren, tentu para santri terbiasa mendengarkan para ustadz dan kiai
mengucapkan Wallahu a‘lam bi as-shawab pada penutup pengajian.
Kalimat Wallahu
a‘lam bish-shawab memiliki makna Hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran
yang sesungguhnya.
Penggunaan kalimat
ini sudah menjadi salah satu tradisi di kalangan pesantren. Penggunaan
kalimat Wallahu A’lam (hanya Allah yang lebih mengetahui) pada dasarnya
digunakan sebagai jawaban ketika kita ditanya suatu permasalahan ilmu yang kita
tidak ketahui jawabannya,
sebagaimana wasiat shahabat Abdullah bin
Mas’ud:
“Wahai manusia, barang siapa yang ditanya
tentang suatu permasalahan ilmu kepadanya dan ia mengetahuinya maka hendaknya
ia menjawabnya. Dan barang siapa yang tidak mengetahui jawabannya, hendaknya ia
mengatakan Wallahu a’lam karena sesungguhnya sebagian dari ilmu adalah engkau
mengatakan Wallahu a’lam terhadap sesuatu yang tidak engkau ketahui” (Imam
Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
Para ulama juga memakai kalimat Wallahu a’lam sebagai kode etik dalam menutup fatwa mereka.Selain itu, mereka juga memakai kalimat Wallahul muwaffiq (hanya Allah yang memberikan petunjuk) dan sejenisnya sebagai penutup penjelasan mengenai permasalahan yang disepakati oleh ulama Ahlusunnah wal Jama’ah.
“Dan ketika ulama ahli fatwa selesai
memberikan fatwa dalam suatu permasalahan hendaknya ia menulis kalimat Wallahu
a‘lam dan sesamanya.
Dikatakan juga
bahwa hendaknya setelah menjelaskan pendapat yang disepakati ulama Ahlussunnah
wal Jama’ah untuk menulis kalimat Wallahul muwaffiq dan sejenisnya” (Syekh
Mula Ali bin Sulthan al-Qari, Kitab Syam al-‘Awaidh fi Dzamm ar-Rawafidh, Kairo:
Dar ash-Shafwah, 2004, hal. 137).
Kemudian, para
ulama juga memakai kalimat Wallahu a’lam bish-shawab sebagai penutup dalam
beberapa penjelasan dalam kitab-kitab karya mereka maupun sebagai penutup
pengajian mereka.
Menurut Sulaiman bin
Muhammad al-Bujairami, ulama mazhab Syafi’i, hal ini dianjurkan dengan tujuan
sebagai bentuk kerendahan hati para ulama serta upaya memasrahkan kembali
hakikat permasalahan tersebut kepada Allah.
“Sebagian para guru
mengatakan, ‘(Dengan memakai lafadz Wallahu a‘lam bish-shawab) seakan-akan
penulis bertujuan untuk berlepas diri dari pengakuan paling alim.
Al-‘Allamah Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan, maksud kalimat Wallahu a‘lam adalah hanya Allah yang lebih mengetahui dari seluruh orang alim. Sebagian ulama mazhab Hanafi mengatakan tidak seyogianya (makruh) memakai ungkapan demikian, sebagian memutlakkan dan sebagian yang lain menghukumi makruh ketika bertujuan sebagai pertanda ditutupnya pengajian.
Dan pendapat ini tertolak karena tidak ada
keraguan bahwa di dalam ungkapan Wallahu a‘lam terdapat puncak kepasrahan
kepada Allah yang dianjurkan. Sedangkan, menurut kalangan ulama mazhab Hanafi
penggunaan kalimat Wallahu a‘lam dengan tujuan sebatas tanda ditutupnya
pengajian adalah makruh.
Akan tetapi, bila
diniatkan untuk berdzikir maka dihukumi sunnah. Apabila diniatkan keduanya (niat
tanda ditutupnya pengajian dan dzikir) sekaligus, maka menurut mazhab
Hanafi dihukumi dengan yang paling dominan.
Misal contoh,
ketika lebih dominan niat sebagai penutup pengajian maka dihukumi makruh dan
begitu juga sebaliknya ketika lebih dominan sebagai niat berdzikir maka
dihukumi sunnah.
“Dan (para
ulama mazhab Hanafi) memutuskan untuk memakruhkan pengucapan Wallahu A’lam dan
sejenisnya dengan tujuan pertanda selesainya pengajian.
Adapun ketika tidak
ada tujuan pertanda selesainya pengajian maka tidak dimakruhkan. Karena di
dalam kalimat tersebut terdapat dzikir dan kepasrahan kepada Allah berbeda
dengan kasus yang pertama yang menjadikan kalimat Wallahu A’lam sebatas alat
untuk pemberitahuan.
Adapun ketika
bertemu dua niat yang berbeda maka dimenangkan yang paling dominan sebagaimana
dalam kasus yang sejenis.
Sedangkan menurut Syekh Ali Jum’ah dalam laman
resminya mengutarakan bahwa hikmah pengucapan Wallahu A’lam oleh para ulama
adalah sebagai berikut :
Pertama, sebagai
bentuk pengakuan mereka bahwa fatwa yang mereka utarakan adalah terbatas yang
dapat ditinjau ulang kembali dalam kesempatan yang lain. Dan para ulama juga
tak segan untuk mengubah fatwanya ketik ditemukan sudut pandang ataupun dalil
hukum lain yang dapat mengubah pendapatnya.
Kedua, sebagai
bentuk pengakuan para ulama bahwa fatwa mereka bersumber dari ilmu yang mereka
dapatkan. Dan seluruh ilmu tersebut bersumber dari Allah subhanahu wata’ala.
Oleh karena itu, ucapan Wallahu a‘lam adalah bentuk tawadhu’ (kerendahhatian)
mereka di hadapan Allah yang telah memberikan mereka petunjuk dalam memahami
ilmu.
Walhasil, pada
dasarnya para ulama menghukumi suatu permasalahan sesuai dengan bentuk lahiriah
dan kasuistiknya, sedangkan di balik itu hanya Allah yang mengetahui hakikatnya
sebagaimana ungkapan dalam kaidah ushul fiqh.
“Kami menghukumi
dengan sesuatu yang dhahir (lahiriah), dan Allah yang menangani seluruh yang
tersembunyi (samar).” Karena itulah ulama sangat berhati-hati dalam
berfatwa ataupun menjelaskan ilmu. Dan hal ini diwujudkan dalam bentuk kalimat
Wallahu A’lam. (mth234)
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/125098/hikmah-pengucapan-wallahu-alam
Tidak ada komentar